,“Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu..” berlinang airmata ibu
menjelaskan pada Rosyid yang bersikeras ingin pergi dari rumah. “Ayah
cuma ingin, kamu, masa depan kamu lebih baik dari ayah..” ayah menelan
rasa sakit hatinya mendengar ungkapan Rosyid yang tidak mau lagi
mengikuti perintah ayah. Sudah merasa bosan menjadi anak ayah, Rosyid
ingin berdiri diatas kaki sendiri, memilih bidang yang Rosyid sukai
yaitu Art.
Rosyid ingin melukis sepanjang hari tanpa ada yang mengganggu, tanpa harus mengahafal ini itu, teori-teori yang sangat banyak dengan hitungan yang menjelimet. “Sudah jaman
digital begini,
kalkulator diciptakan untuk mempermudah, namun mengapa kita malah harus
belajar tanpa menggunakan kalkulator, bukankah bisnisman jaman sekarang
menghitung dengan kalkulator.. belum pernah tuh Rosyid lihat, walau
dalam sinetron sekalipun, seorang pengusaha menghitung keuangannya
dengan bantuan kertas buram dan bolpen serta tip ex..” heran Rosyid.Rosyid ingin melukis sepanjang hari tanpa ada yang mengganggu, tanpa harus mengahafal ini itu, teori-teori yang sangat banyak dengan hitungan yang menjelimet. “Sudah jaman
Sekolah bikin pusing, sudah begitu, susah pula cari uang. Rosyid tidak bahagia bersekolah di tempat kuliah yang ayah minta, memang akhirnya karena Rosyid juga pas-pasan otaknya, pas ujian lulus, itu saja.
Akhirnya ayah ibu sepakat menyekolahkan Rosyid di universitas swasta dengan bidang ekonomi. Hitungannya memang sedikit, namun ditingkat satu sudah belajar matrix dan susahnya minta ampun, banyak sekali angka satu dan nol yang berjejer-jejer, bersilang silang, rasanya Rosyid yakin, yang bikin matrix itu mungkin orang yang kurang kerjaan atau tidak bahagia atau ditinggal lari istrinya sehingga dia bingung mau ngapain sehingga terciptalah theory matrix yang menyebalkan.
Rosyid mengalah atau tepatnya tidak mampu lagi mengerjakan 3 subject dari 6 subject di tingkat satu kuliahnya. Rosyid bersikeras tidak mau meneruskan, atau lebih memilih kabur atau keluar dari rumah, tentu saja dengan minta bekal sama ibu. Mungkin kabur dengan bekal rendang, abon, camilan, pasta gigi dan kuas-kuas yang dibutuhkan. Rosyid akan menjual lukisan dan mungkin tidur dengan budenya di pasar. Rumah budenya di pasar memang kecil tapi kalau ketempatan Rosyid yang langsing, kayaknya masih cukup lapipula Rosyid juga makannya sedikit kok.
Akh, orangtua mana yang mau lihat anaknya hidup tanpa kejelasan seperti itu. Semua orangtua ingin anaknya normal saja, sekolah sampai kelas 3 SMU lalu masuk kuliah, syukur-syukur di universitas negeri. Lalu setelah selesai kuliah dan menenteng ijazah serta cv lengkap melamar pekerjaan keluar masuk gedung-gedung di ibukota, memakai pakaian lengkap dengan dasi dan menerima THR setiap lebaran. Dimata Rosyid, pikiran ayah ibu itu klise, seperti di buku-buku yang diikuti semua orangtua di seluruh ibukota, “Rosyid pingin jadi pelukis , titik,” ucap Rosyid.
Kata-kata ayah dan ibu bahwa mereka inginkan yang lebih baik dari mereka, ”ayah hanya ingin kamu lebih baik dari ayah,” bener bener membuat Rosyid mual. “Gimana bisa lebih baik dari ayah? membayangkan jadi ayah saja Rosyid sudah gak sanggup, apalagi lebih baik dari ayah..”
Yaa kalimat itu seringkali dilontarkan orangtua pada anaknya, namun pola pikir remaja yang masih dangkal belum bisa menerima bahwa mereka harus “dipaksa” untuk menjadi lebih baik daripada orangtuanya. Doa ibu sangat dibutuhkan disaat-saat genting seperti itu, bukan hanya limpahan airmata beraura paksaan. Lihat nanti, lebih baik atau tidak, akan terjalani dengan sendirinya, sesuai dengan suratan takdir seseorang, yang penting jadi apapun Rosyid, dia bermanfaat buat dirinya, umat dan masyarakat. Daripada lulus kuliah dengan baik tapi ujungnya menjadi koruptor..?
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !